Hukum Jamaah Kedua Dalam Satu Masjid(2)
HUKUM JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID
Pendapat Kedua : Diperbolehkan mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid, jika jama’ah kedua terpisah dari jama’ah pertama.
Demikian ini pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Ibnul Mundzir, Daud Adz Dzahiri, Asyhab, At Tirmidzi, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim bin Rahuyah, Ibnu Abi Syaibah, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ‘Atha, Ibrahim An Nakha’i, Makhul, Ayub As Sakhtiyani, Tsabit Al Bunani, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud. Namun terdapat riwayat yang berbeda dalam penisbatan pendapat ini kepada beberapa ulama, seperti: Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik, Al Hasan Al Bashri, Ayub As Sakhtiyani, Ahmad bin Hambal dan Ibrahim An Nakha’i. Yang rajih dari mereka ialah riwayat yang menyatakan, bahwa mereka termasuk orang yang berpendapat dengan pendapat pertama, yaitu larangan membuat jama’ah kedua dalam satu masjid yang memiliki imam tetap (rawatib)[1]. Mereka berdalil dengan dalil nash dan akal.
Adapun dalil nash, mereka mengambil hadits dan atsar para sahabat, diantaranya:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat. [HR Bukhari]
Dalam riwayat lain.
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh lima derajat. [HR Bukhari].
Hadits ini menunjukkan keumuman shalat jama’ah, baik jama’ah pertama atau kedua atau yang lainnya.
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian, lalu berkata,“Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu sholat bersamanya?” [HR Abu Daud dan Ahmad][2].
Dalam riwayat lainnya:
جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Datang seseorang setelah Rasulullah usai shalat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Adakah orang yang ingin mengambil keuntungan darinya?” Lalu ada seorang yang bangkit dan shalat bersamanya. [HR At Tirmidzi dan Ahmad][3]
Al Hakim menyatakan, hadits ini sebagai dasar dibolehkannya dilakukan dua kali jama’ah dalam satu masjid.[4]
Hadits ini menunjukkan bolehnya mendirikan jama’ah kedua setelah selesai jama’ah pertama, walaupun di masjid yang memiliki imam rawatib (tetap). Sebab pada waktu itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan imam tetap di masjid tersebut. Sehingga Imam Al Baghawi menyatakan, hadits ini menunjukkan bolehnya bagi orang yang berjama’ah untuk mengerjakan jama’ah kedua setelah yang pertama. Juga menunjukkan bolehnya diadakan dua kali jama’ah dalam satu masjid. Inilah pendapat banyak sahabat dan tabi’in.[5]
Demikian juga Imam Muhammad Adzimabadi, penulis kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud menyatakan,“Hadits ini menunjukkan dibolehkannya mengerjakan shalat berjama’ah pada masjid yang telah selesai shalat jama’ah (pertama)nya.”[6]
Syaikh Shalih As Sadlan menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam merajihkan pendapat ini. Beliau menyatakan, “Pendapat yang rajih ialah pendapat kedua, yaitu dibolehkannya secara mutlak, tanpa membedakan antara masjid tiga (Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha) dengan yang lainnya, karena keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya?” Jelaslah, ini dilakukan di masjid Nabawi. Juga secara makna menunjukkan, bahwa keutamaan shalat jama’ah didapatkan padanya sebagaimana didapatkan pada yang lainnya.”[7]
3. Atsar dari Sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq[8] dalam Shahihnya yang berbunyi:
جَاءَ أَنَسُ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جمَاعَةً
Anas datang ke satu masjid yang telah selesai shalat, lalu beliau adzan dan iqamat serta shalat berjama’ah.[9]
Hadits ini diriwayatkan secara bersambung melalui jalan periwayatan Imam Bukhari dalam kitab Taghliq Ta’liq, karya Ibnu Hajar[10] , lalu Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan,“Sanadnya ini shahih namun mauquf ”[11]
4. Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, “Orang yang mampu berjama’ah disunnahkan berjama’ah, sebagaimana ada di masjid yang dijadikan sebagai tempat shalat orang yang lewat”.[12]
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika beliau ditanya, bagaimana hukum mengerjakan jama’ah kedua pada masjid yang terdapat imam tetapnya? Beliau menjawab : Mengerjakan jama’ah kedua pada masjid yang memiliki imam rawatib (tetap), jika dilakukan terus-menerus, maka ini menjadi satu kebid’ahan. Namun, bila itu hanya kadang-kadang (dilakukan), misalnya oleh sekelompok orang yang datang ke masjid dan mendapatkan orang-orang telah selesai shalat. Disini mereka dibolehkan dan tidak mengapa mengerjakan shalat berjama’ah (kedua). Adapun pendapat yang menyatakan, hal ini sebagai satu kebid’ahan, maka pendapat ini lemah, karena dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersama para sahabatnya, lalu masuk seseorang yang belum shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya? Lalu ada seseorang yang bangkit dan shalat bersamanya.
Disini ditegakkan jama’ah shalat setelah jama’ah (pertama), padahal salah seorang dari keduanya shalat sunnah yang tidak wajib baginya. Apakah masuk akal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua orang yang tertinggal shalat (jama’ah pertama) mengerjakan shalat berjama’ah dan memerintahkan seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat berjama’ah kembali bersama orang tersebut? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, kelirulah seseorang yang menganggap salah kepada orang yang mengerjakan shalat berjama’ah (kedua) dan menganggap sunnah orang yang melakukan shalat sendirian, jika tertinggal jama’ah (pertama).
5. Adapun atsar Ibnu Mas’ud, bahwa beliau masuk (masjid) lalu mendapatkan orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang dan shalat di rumahnya. Atsar ini bertentangan dengan atsar yang disampaikan penulis kitab Al Mughni dari Ibnu Mas’ud sendiri. Beliau menyatakan bolehnya menegakkan shalat jama’ah kedua setelah selesai shalat jama’ah pertama.
Jika atsar Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan dalam Al Mughni benar, maka beliau memiliki dua riwayat. Jika tidak benar, maka pendapat pertama (yaitu tidak bolehnya) adalah pendapat Ibnu Mas’ud, namun ini semata satu kejadian saja.
Ada kemungkinan pulangnya Ibnu Mas’ud ke rumah untuk shalat berjama’ah terjadi karena khawatir ditiru orang, sehingga mereka meremehkan masalah shalat ini. Mungkin juga bisa menyakiti hati imam pertama tadi, lalu imam tersebut berkata, ‘Abdullah bin Mas’ud memperlambat shalat, agar tidak shalat bersama saya ……’ atau yang sejenisnya, yang tidak kita ketahui, karena ini hanya semata satu kejadian.
Namun kita memiliki sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat sunnah mendampingi orang yang baru masuk masjid (tertinggal jama’ah) shalat berjama’ah. Tentunya dua orang yang terkena kewajiban jama’ah, bila tertinggal jama’ah pertama lebih boleh dan lebih pantas.”[13]
Bantahan Pendapat Kedua Terhadap Pendapat yang Pertama
Pendapat kedua berusaha memperkuat dalil dan hujjah, dengan membantah dalil pendapat pertama. Bantahan ini dapat diringkas menjadi beberapa hal, diantaranya:
Pertama : Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu memiliki seorang perawi yang dicela para ulama, yaitu Muawiyah bin Abi Yahya. Sebagaimana disampaikan oleh Al Kasymiri,“Pada sanadnya ada Mu’awiyah bin Abi Yahya. Dia termasuk perawi yang disebut dalam At Tahdzib dan ia dipermasalahkan.”[14]
Kedua : Apabila hadits ini shahih, belum juga menunjukkan larangan mengerjakan jama’ah kedua, karena masih ada kemungkinan beliau shalat berjama’ah di masjid. Sedangkan pulangnya beliau ke rumah bertujuan mengumpulkan keluarganya, bukan bermaksud shalat berjama’ah di rumahnya.
Seandainya kita menerima, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memang shalat berjama’ah bersama keluarganya di rumah, tidak juga menunjukkan ketidakbolehan mengadakan jama’ah kedua dalam satu masjid. Hal ini karena hadits ini hanya menunjukkan dibolehkannya orang yang tertinggal jama’ah dengan imam tetap untuk tidak shalat di masjid. Dia boleh keluar dan pulang ke rumahnya, lalu berjama’ah bersama keluarganya. Jadi, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan larangan melakukan jama’ah kedua dalam satu masjid yang terdapat imam tetapnya.
Lagipula bila benar, tidak shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid menjadi dalil larangan berjama’ah, maka tentunya juga dilarang shalat sendirian di masjid tersebut, karena beliau tidak shalat sendirian dan tidak pula berjama’ah disana. Bahkan beliau pulang ke rumah dan shalat di rumahnya.
Kesimpulannya : Berdalil dengan hadits Abu Bakrah tersebut untuk larangan dan sunahnya shalat sendirian, tidaklah benar.
Ketiga : Adapun atsar Anas bin Malik, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri[15], bukanlah dalil yang kuat dalam larangan ini, karena Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu sendiri menjelaskan hal itu karena takut dengan penguasa (Sulthan). Hal ini dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah[16] dan Abdurrazaq Ash Shan’ani[17] dalam kitab Al Mushannaf[18].
Demikian bantahan pendapat kedua terhadap dalil pendapat pertama.
Bantahan Pendapat Pertama Terhadap Dalil Pendapat Kedua
Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama (tidak bolehnya mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid), memberikan bantahan atas dalil dan argumentasi pendapat kedua. Bantahan ini dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama : Berdalil dengan hadits Abu Sa’id tersebut tidaklah benar, karena hanya menunjukkan berulangnya shalat jama’ah, namun sekedar dalam bentuknya saja, bukan shalat jama’ah sesungguhnya. Hal ini, karena seseorang yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan untuk menemaninya telah melakukan shalat berjama’ah fardhu, sehingga yang berjama’ah kepada orang tersebut hanyalah shalat sunnah semata. Adapun jama’ah yang hakiki, ialah bila imam dan makmum shalat berjama’ah fardhu. Sehingga analogi jama’ah kedua shalat fardhu dengan bentuk jama’ah dalam hadits ini merupakan analogi yang tidak tepat (qiyas ma’al fariq)[19].
Kedua : Adapun atsar Anas bin Malik yang digunakan sebagai dalil pendapat kedua, mereka membantahnya dengan menyatakan, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu tidak melakukannya di masjid tempat tinggalnya. Beliau mendatangi masjid Bani Tsa’labah atau Bani Rifa’ah atau masjid Ashhabus Saaj atau masjid Bani Zuraiq, lalu melakukan shalat berjama’ah disana. Ini, tentunya diluar permasalahan mengerjakan jama’ah kedua yang dimaksud.
At Tahawuni berkata,“Ada kemungkinan masjid tersebut adalah masjid di pinggir jalan (tempat persinggahan orang) atau sejenisnya, yang diperbolehkan melakukan jama’ah kedua padanya. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya pengulangan adzan dan iqamah yang tidak diperbolehkan oleh orang yang berpendapat bolehnya mengulang jama’ah shalat.”[20]
Ketiga : Semua keutamaan dan anjuran yang ada untuk shalat berjama’ah hanya berlaku untuk jama’ah pertama.
Penyebab Khilaf dan Pendapat yang Rajih Dalam Permasalahan Ini
Setelah melihat dan meneliti perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, dapat disimpulkan penyebab perselisihan mereka ada dua:
- Pertama : Apakah anjuran dan pelipat-gandaan pahala khusus untuk shalat jama’ah di masjid bersama imam tetap atau juga meliputi lainnya?
- Kedua : Apakah berjama’ah termasuk sebagai syarat keabsahan shalat atau tidak?
Ulama yang berpendapat, anjuran dan pelipat-gandaan pahala hanya untuk yang mengerjakan shalat berjama’ah di masjid bersama imam tetap, mereka melarang pengulangan jama’ah di masjid yang memiliki imam tetap. Sedangkan yang tidak demikian, maka membolehkan pengulangan shalat berjama’ah tersebut[21].
Yang rajih ialah pendapat pertama jika penyebab larangan tersebut ada, yaitu menimbulkan perpecahan atau kemalasan untuk menghadiri jama’ah pertama. Penyebab ini tidak akan terjadi, kecuali pada masjid yang memiliki imam dan muadzin tetap. Demikian yang dirajihkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman[22] dengan dalil-dalil sebagai berikut:
- Melihat dalil pendapat pertama yang ada.
- Tidak adanya perintah melakukan jama’ah yang berulang-ulang dalam shalat khauf, padahal sangat dibutuhkan. Demikian juga, tidak terdapat dalil yang shahih adanya jama’ah kedua setelah jama’ah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama. Juga riwayat para sahabat dan tabi’in, jika tertinggal shalat jama’ah, mereka melakukan shalat secara sendirian di masjid atau berjamaah di rumah.
- Meninggalkan jama’ah pertama yang disebabkan karena rasa malas mengikuti jama’ah dengan imam tetap, tentunya dicela. Padahal sesuatu yang menyebabkan terjadinya perkara tercela, sebagai sesuatu yang tercela.
- Apabila seseorang tertinggal shalat berjama’ah bersama imam tetap karena udzur, maka ia memperoleh pahala jama’ah tersebut, walaupun shalat secara sendirian.
Demikianlah sebagian dalil yang menguatkan pendapat pertama. Dan inilah pendapat yang rajih, Insya Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat tarjihnya dalam kitab I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 68-75.
[2] Lihat kitab Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, 3/11.
[3] Lihat kitab Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, 3/11.
[4] Al Mustadrak karya beliau 1/209.
[5] Syarhu Sunnah 3/437.
[6] Aunul Ma’bud 1/225.
[7] Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 101.
[8] Muallaq adalah hadits yang terputus sanadnya satu perawi atau lebih di awal sanad
[9] Shahih Bukhari, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah. Lihat Fathul Bari 2/131.
[10] Taghliq At Ta’liq 2/276-277
[11] Mauquf adalah perkatan, perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada para sahabat.
[12] Al Mughni, 3/11
[13] I’lamul ‘Abid, hal. 79-80 menukil dari kaset rekaman beliau berjudul Masail Tahumu Al Muslim.
[14] I’lamul ‘Abid, hal. 83-84, menukil dari Al Urfusy Syadzi ‘Ala Jami’ At Tirmidzi, hal. 118.
[15] Diriwayatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157. Lihat dalil pendapat pertama dalam majalah As Sunnah, edisi 4/VII/1424 H/2003 M. hal. 41.
[16] Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 2/322
[17] Mushannaf, Abdirrazaq 2/293 no. 3422.
[18] Apabila ingin lebih panjang lagi, silahkan melihat kepada kitab I’lamul Abid hal. 85-87
[19] Lihat pernyataan Syaikh Al Albani dalam majalah As Sunnah edisi 4/ VII/1424 H/2003 M. hal. 42.
[20] I’lamul Abid, hal. 91, menukil dari I’lamus Sunan 4/248.
[21] Hal ini disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman dalam…?
[22] I’lamul Abid, hal. 94.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/46107-hukum-jamaah-kedua-dalam-satu-masjid2.html